Perubahan Kurikulum Pendidikan sebagai Wujud Inkonsistensi Pemerintah
Pendidikan yang baik adalah investasi yang tak ternilai untuk kemajuan bangsa. Maka, untuk menstandarkan materi-materi pendidikan yang diberikan dalam sekolah, disusunlah kurikulum oleh pemerintah sebagai pedoman sistematis yang wajib dilaksanakan bagi institusi-institusi pendidikan di Indonesia dalam materi pelajaran.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum akan menentukan materi yang wajib diberikan, urutan pemberiannya, indikator-indikator pemahaman siswa, dan banyak lagi.
Baru–baru ini masalah pergantian kurikulum pembelajaran di Indonesia mngalami pro dan kontra. Pergantian kurikulum pembelajaran mulai dari kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), sampai pada KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.
Namun, di saat zaman reformasi ini, kurikulum yang dikeluarkan pemerintah senantiasa berubah secepat seseorang bosan dengan mainannya. Bahkan, dapat terlihat bahwa setiap kali berganti menteri pendidikan maka hampir dapat dipastikan kurikulum juga akan diubah. Apakah sering berganti-ganti kurikulum itu baik? Tergantung. Sebetulnya apabila kurikulum baru memang lebih efektif dan cocok dengan realita di lapangan, maka itu baik. Tapi, apa bila kurikulum itu tidak efektif dan sulit direalisasikan dengan sempurna, maka yang terjadi adalah kebingungan dan miskonsepsi. Bila hal itu terjadi, maka yang paling menjadi korban adalah siswa, korban dari proyek Depdiknas dan menteri baru yang ingin “tampil beda”. Sementara guru dipusingkan dengan pergantian program-program pembelajaran yang dari tahun ke tahun yang mengalami perubahan.
Masalah bagi Peserta Didik
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Peserta didik merupakan individu yang sedang berkembang. Dalam proses perkembangannya, peserta didik membbutuhkan bimbingan dan bantuan.
Kurikulum pendidikan nasional sejak tahun 1947 sampai sekarang otomatis melibatkan peserta didik sebagai subjek didik. Mereka seolah-olah sebagai kelinci percobaan dari setiap perubahan kurikulum.
Belum selesai pembicaraan tentang permasalahan kurikulum 2004 atau yang disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), muncul kurikulum tingkat satuan pendidikan(ktsp). Belum genap dua tahun usia KBK, tiba-tiba peserta didik harus terjun dalam lembah kurikulum baru. Padahal kurikulum 2004 masih belum sepenuhnya terealisasi dengan baik atau pelaksaannya masih dalm taraf percobaan.
Pendidikan nasional masih dalam taraf perkembangan. Kemampuan menyerap ilmu yang dimiliki peserta didik rata-rata masih kurang. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang, bisa dikatakan perbandingannya 3:9, 3 untuk Indonesia dan 9 untuk Jepang.
Perubahan kurikulum yang bisa dibilang seperti seleksi Indonesian Idol, menuntut peserta didik untuk mampu meyesuaikan diri dari setiap kurikulum yang dicanangkan. Penyesuaian diri tersebut membutuhkan kepiwaian berpikir. Perlu menguras otak untuk melaksanakan kurikulum dari kurikulum satu ke kurikulum lainnya. Bagi peserta didik yang cerdas, mungkin masalah ini tidak begitu berat, tetapi bagaimana dengan peserta didik yang berada di bawahnya? Mereka akan gonjang-ganjing, menguras otak untuk menyesuaikan dengan kurikulum yang baru.
Pemerintah seharusnya konsisten terhadap satu kurikulum. Berdasarkan perjalanan kurikulum nasional, kurikulum 1994 dirasa cocok diterapkan di Indonesia yang pendidikannya masih dalam taraf perkembangan.
Pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Setiap pendidik harus membuat program pembelajaran kurikulum yang akan digunakan dalam proses belajar-mengajar.
Perubahan kurikulum sejak tahun 1947 sampai sekarang membuat pusing para pendidik. Mereka dipusingkan dalam pembuatan program kurikulum dan metode pembelajaran yang hampir setiap tahun berubah.
KBK yang baru sestengah jalan harud diganti dengan KTSP. Pelaksanaanya cenderung terburu-buru dan tidak merata. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru dituntut untuk membuat kurikulum sendiri. Masalahnya para guru belum mempunyai pengalaman yang matang dalam membuat kurikulum sendiri, sedangkan masa sosialisasi KTSP terlalu singkat untuk perubahan sistem yang signifikan seperti itu. Selain itu kurikulum ini mengubah beberapa urutan materi yang diberikan. Materi yang sebelumnya diberikan pada semester 1, menurut ketentuan baru harus diberikan di semester 2. Implikasinya adalah dalam beberapa materi siswa harus belajar kembali suatu materi di semester ke-2, padahal pada semester pertama materi tersebut sudah dianggap selesai. Lantas untuk apa mengulang sedangkan materi lain mendesak dan UAN semakin dekat. Maka beberapa guru pun mengabaikan perintah kurikulum dan tetap memfokuskan pada materi yang belum selesai. Akibatnya kurikulum KTSP tinggal nama saja.
Dengan adanya pergantian konsep yang terus menerus, pemerintah telah membingungkan para pendidik sebagai penyampai materi.
Kurikulum yang menjadi tombak pendidikan seharusnya menerapkan tahapan sistematis yang konsisten untuk jangka panjang. Kurikulum tidak harus mengalami pergantian yang terus-menerus, tetapi membutuhkan penyempurnaan. Jika kurikulum berjalan ajek akan memudahkan pendidik dalam membuat program pembelajaran. Sehingga peserta didik pun tidak ikut pusingketika menerima materi berdasarkan metode yang disampaikan pendidik.
Pemerintah berperan penting sebagai pengambil kebijakan. Perubahan kurikulum dari tahun ke tahun merupakan kebijakan yang diambil pemerintah. Dari segi positifnya apabila kurikulum baru lebih efektif dan cocck dengan realita lapangan, maka itu baik. Tapi apabila kurikulum itu tidak efektif dan sulit direalisasikan dengan sempurna, maka yang terjadi adalah kebingungan.
Tanpa disadari perubahan kurikulum sejak tahun 1947 sampai sekarang, bukan hanya membuat pusing siswa dan guru tetapi juga pemerintah. Bukankah perubahan kurikulum baik sedikit atau menyeluruh memerlukan dana besar? Sosialisasi ke pelaku pengajaran harus dilakukan. Kegiatan ini bisa dibilang boros dana. Padahal kita tahu sendiri bahwa keadaan negara kita memprihatinkan. Memang ada anggaran pendidikan dari APBN. Namun, apakah pemerintah lantas menghambur-hamburkannya? Akan lebih bemanfaat jika anggaran pendidikan digunakan untuk proses kegiatan belajar mengajar atau untuk membantu biaya pendidikan bagi rakyat yang membutuhkannya.
Harus disadari untuk tidak terlalu tergesa-gesa mengganti kurikulum. Pelaksanaan di lapangan, perubahan kurikulum itu tidak begitu besar maknanya. Pembuktian empiris dari efektif atau tidaknya kurikulum perlu waktu yang panjang dan kerja keras serta membutuhkan dana yang tidak sedikit. Jadi pemerintah seharusnya lebih konsisten dalam menetapkan kurikulum pendidikan nasional. Karena memperbaiki kurikulum pendidikan nasional tidak untuk diganti tetapi untuk disempurnakna.